Perusahaan yang bergerak di bidang energi dan automasi, Schneider Electric, percaya bahwa peningkatan elektrifikasi perlu dibarengi dengan percepatan transisi energi bersih dari sumber energi terbarukan dan digitalisasi pengelolaan energi yang lebih cerdas.
Tujuannya adalah agar pencapaian target pengurangan
emisi karbon pemerintah Indonesia pada 2030 dapat terealisasi.
Sebagai tiga besar penyumbang gas rumah kaca (GRK),
sektor industri pun dapat menjadi motor penggerak bagi sektor lain untuk segera
mengambil langkah proaktif menuju pembangunan ekonomi hijau dengan net-zero
emission.
Baca juga: Promosikan Lingkungan Sekolah Hijau di SMK, Schneider Electric Luncurkan Program Adopt a Tree
Dunia
masa depan yang sustainable, menurut Schneider Electric, adalah
dunia yang berbasis listrik dan digital atau dikenal dengan istilah electricity 4.0.
“Listrik
menawarkan cara tercepat, teraman, dan paling hemat biaya untuk mewujudkan
dekarbonisasi. Sementara, teknologi digital membangun masa depan yang cerdas dengan
mendorong efisiensi dan menekan pemborosan energi,” kata Business Vice President
Industrial Automation Schneider Electric Indonesia and Timor Leste Martin
Setiawan pada
Diskusi Media Schneider Electric bertajuk “Transisi Energi Bersih Menuju Pembangunan Industri Hijau”, Kamis
(17/2/2022).
Sebagai informasi, lebih dari 60 persen energi yang dihasilkan oleh sektor industri terbuang sia-sia. Penyebabnya, efisiensi sering diabaikan. Padahal, langkah ini merupakan salah satu cara tercepat untuk mengurangi konsumsi energi.
Pemanfaatan
listrik berbasis sumber energi baru terbarukan (EBT) yang didukung dengan
teknologi digital pun bisa menjadi solusi terbaik dalam penyediaan dan
pemerataan akses energi bersih hingga ke daerah terpencil.
Baca juga: Membangun Ekosistem Kerja Jarak Jauh yang Kolaboratif dan Produktif
Selain
itu, listrik berbasis EBT juga dapat membantu pengelolaan lebih efisien
dan sustainable, mengurangi emisi karbon, serta meningkatkan
ketahanan energi.
Dalam
hal sumber EBT, pemerintah Indonesia telah mencanangkan pembangunan
infrastruktur, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka
EBT, Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mustaba Ari Suryoko
mengatakan, pemerintah
Indonesia terus mendorong pembangunan infrastruktur, khususnya Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS).
“Pemerintah
telah menyiapkan road map untuk
mendorong peningkatan industri serta pembangunan infrastruktur PLTS yang
tertuang di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030,”
kata Mustaba.
Baca juga: Mengapa Operator Data Center dan Penyedia Colocation Harus Prioritaskan Sustainability?
Dalam
RUPTL tersebut, pemerintah menargetkan pembangkit listrik berbasis EBT mencapai
51,6 persen. Selain itu, Kementerian ESDM akan mengembangkan secara bertahap
PLTS Atap sebesar 3,6 giga watt (GW) hingga 2025.
“Adapun sektor industri dan bisnis menjadi
salah satu segmen konsumen prioritas. Selain itu, target penambahan PLTS Atap diharapkan dapat menekan penurunan emisi GRK
hingga 4,58 juta ton karbon dioksida pada 2025,” jelas Mustaba.
Perlu
diketahui bahwa adopsi PLTS Atap di sektor industri perlu terus didorong
dengan memberikan dukungan ahli melalui kemitraan strategis.
Dukungan berbagai pihak
Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan pada kesempatan yang sama mengatakan,
salah satu
kendala yang dihadapi oleh pelaku industri untuk beralih ke energi bersih adalah biaya
investasi awal yang tinggi.
“Padahal, penggunaan
PLTS Atap bagi pelaku industri memiliki peran penting dalam pengembangan
industri hijau. Maka dari itu, kami menyediakan alternatif pembiayaan instalasi
PLTS Atap tanpa investasi sebagai bentuk komitmen kami dalam meningkatkan
penggunaan EBT bagi
pelaku industri,” ujar Eka.
Sementara
itu, Schneider Electric yang juga merupakan bagian dari sektor industri telah
memulai perjalanan sustainability sejak 2005.
Baca juga: Peran Edge Data Center yang Ramah Lingkungan bagi Industri e-Commerce
Dalam
beberapa kesempatan, Schneider Electric bahkan memperoleh pengakuan dari
berbagai agensi penilaian environmental,
social and corporate governance (ESG) sejak 2020.
Perusahaan asal Prancis tersebut
berhasil memperoleh CDP Climate Change dengan
nilai A selama 10 tahun berturut-turut. Terakhir, Schneider Electric
juga dianugerahi
sebagai The
World’s Most Sustainable Corporation 2021 dari
Corporate Knights.
Komitmen sustainability dalam
operasional Schneider Electric di Indonesia ditunjukkan dengan digitalisasi
operasional seluruh pabriknya menjadi pabrik pintar. Perusahaan juga telah memulai
peralihan ke PLTS Atap pada 2020 untuk memenuhi kebutuhan energi di pabriknya
di Cikarang.
Saat
ini, PLTS Atap pada pabrik Schneider Electric di Cikarang dapat menghasilkan 224 megawatt per hour (Mwh) atau setara
dengan 21,6 persen dari total konsumsi pabrik. Dengan kata lain, PLTS Atap
berhasil mengurangi emisi karbon sebesar 164 ton karbon dioksida dan menghemat
biaya energi sebesar 8 persen.
Baca juga: Schneider Electric Buktikan Teknologi Digital Mampu Efisien 19 Persen
Martin mengatakan, perusahaan kian dituntut untuk lebih transparan terhadap dampak
bisnis terhadap lingkungan sehingga akurasi data menjadi ujung tombak dalam
mengukur keberhasilan dari upaya sustainability. Teknologi digital
memungkinkan hal ini.
“Schneider Electric global memiliki Sustainability Business Division yang menyediakan serangkaian layanan yang komprehensif dalam pengelolaan energi dan sustainability. Kami juga memiliki Schneider Electric’s Energy and Sustainability Services yang menyediakan layanan konsultasi untuk mengembangkan rencana strategis,” ujar Martin.
Sustainability
Business Division, lanjutnya telah memberi masukan kepada ribuan perusahaan
global tentang cara mengukur, mengelola, dan mengurangi jejak karbon mereka
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar